Badai

Standard

Untuk Dewi yang belajar mencintai. We are here. Hold your hand. Raise your smile. Head up. And everything gonna be okay dear.

 

Mungkin biru bisa menjelaskan kenapa dia membiarkan putih menutupi kemegahannya. Kenapa dia rela membiarkan kapas rapuh itu menghalangi pandangan bumi padanya. Tidakkah putih tahu bahwa biru mencintai bumi? Bumi yang kokoh dan menjadi bagian dari kehidupannya. Menjadi nafas dan air matanya. Di kala keheningan malam menelusup masuk melalui celah-celah kaca yang dia bangun. Kaca sekuat baja yang dia bangun sebagai benteng, yang melindunginya dari terpaan badai.

Fei menutup matanya cepat dan menunduk, dia memijat bagian belakang lehernya pelan. Fei lelah mendongak sepanjang pagi, memandangi langit. Dan awan yang mengkhianati. Awan yang adalah sahabatnya, atau pernah menjadi sahabatnya.

“Bukankah ini bagus?” Fei memasang senyum palsu itu lagi. Dia mengaduk pelan teh hijau yang pekat, sepakat hatinya.

Lyra menggeleng,”Kita mengenalnya sepanjang masa.” Gadis itu melemparkan pandangannya menembus dinding kaca cafe di Goilden Street, utara Prancis.

“Lalu?” Fei menjaga ucapannya, sedikit melompati logika. Dia memaksa untuk terus bersikap mendukung.

“Entahlah Fei, Gilang terlalu mudah di tebak. Aku ingin orang baru. Kita telah melangkah sejauh ini. Menyebrangi benua, kenapa harus berkencan dengan orang yang berasal dari kampung yang sama.”

Fei tahu Lyra memaksakan kebohongan, gadis itu terlalu malu untuk mengakui bahwa diapun mencintai Gilang. Baru saja, saat Gilang menawarkan tumpangan di kursi depan Ford nya, setiap Lyra keluar dari Fakultas Ilmu Politik yang digelutinya.

“Pasti Tuhan punya alasan kenapa harus dia yang selalu ada di sampingmu saat kau membutuhkan. Kenapa tangannya yang terulur saat kau terlalu lelah untuk bangkit.” Fei tetap saja bersikeras untuk menyimpan kejujurannya sedalam mungkin, menggali ke dasar bumi, membakarnya bersama magma dan larva, tapi kejujuran itu terlalu suci untuk tersentuh api. Dia mendekam, tak bergerak, di suatu ruangan di hati Fei. Sementara Fei berjuang menggerakkan lidahnya untuk mengatakan apa yang tidak ingin dia percaya.

“Mungkin dia baik. Mungkin aku bisa belajar untuk mencintainya.” Lyra mendapatkan senyumnya, terukir manis di wajahnya yang tirus.

Fei mengangguk, mengangkat gelasnya. Meneguk tehnya. Dia mengernyit. Pahit. Ia lupa menambahkan gula. Atau sudah. Tapi kepahitan hatinya saat ini, menjalar, berjalan melompati badan-badan myelin, merambati indra-indranya. Mengcover kehidupannya.

~

‘sudah di rumah?’

Sms manis terpampang saat Fei membuka flip hp nya. Dia tersenyum. Oh Tuhan. Rasanya detik berjalan terseret-seret hanya untuk mengantarkan tiga kata berisi tiga belas huruf tanpa spasi. Mengisi penuh adrenalin nya, memacu epinefrinnya.

‘sudah. Bagaimana bos mu yang galak itu, apa dia mengaum lagi hari ini?’

Gilang selalu menceritakan semuanya pada Fei. Semua masalahnya, semua kebahagiaannya. Seakan-akan Fei lah satu-satunya yang berhak mengetahui setiap detik kejadian dalam hidupnya. Bagi Fei, cerita Gilang adalah candu. Membuatnya lega, senang, sekaligus berapi-api. Dia mencintai laki-laki itu, tak terbantahkan.

‘dia mencoba melepaskan satu proyek besar agar bisa menikmati dua hari liburan bersama pacar barunya yang model itu. Btw, apa kau bertemu Lyra hari ini?’

Fei menutup flip hpnya, melepaskan baterainya, menarik selimut, dan pergi tidur.

Esok paginya Fei bangkit dari tempat tidur. Matanya bengkak. Bantalnya basah. Sedetik pun dia tidak mampu memejamkan matanya tadi malam. Hipotalamusnya sibuk menginduksi kelenjar air mata daripada menstimulasi hormon tidur. Bahkan bagian dari tubuhnya pun mulai mengkhianatinya.

~

Fei tidak cukup kuat untuk mengikuti kuliah sastra prancis hari ini. Walaupun dia yakin akan melewatkan karya-karya agung dari penyair asli negeri persinggahannya. Fei membongkar lemarinya, mungkin dia harus menjadikan kamarnya lebih nyaman. Sedikit bergerak, namun menghasilkan sesuatu. Fei mulai menyusun tumpukan novel-novelnya, menyusun lagi pakaiannya, dan membereskan meja belajarnya.

Tangannya belum menyentuh dasar laci ketika dia mendapati album berwarna cokelat tua dengan wangi yang khas. Wangi Gilang. Album hadiah ulang tahun dari Gilang saat dia berusia 16 tahun. Sore, gerimis membasahi tanah minang yang lembab ketika Gilang menunggunya di depan kelas. Menggiringnya ke ujung koridor depan kelas dua A. Dan menyerahkan album itu untuknya, album yang berisi foto-foto Fei dan teman-temannya. Fei memandangi foto itu satu persatu, sedangkan Gilang memandangi Fei. Dan mereka berdua sama-sama tersenyum. Sama-sama bahagia.

Fei mengembalikan album itu ke tempat asalnya. Ujung laci meja belajar yang gelap. Kegelapan menyimpan apik kenangan yang indah sekaligus menyakitkan yang harus ia lupakan.

‘kamu dimana?’

Fei sudah mengabaikan sms itu untuk ratusan kalinya hari ini. Dia memasang mode silent karena Gilang terus menerus membuat hp nya berdering. Fei tidak sanggup harus menghadapi berondongan pertanyaan Gilang tentang Lyra. Dia tidak sanggup membagi Gilang-nya dengan orang lain.

~

Fei membuka pintu apartemen dengan malas. Dia tahu Nasya akan benar-benar menendang pintu itu sampai lepas kalau Fei tidak membiarkannya masuk. Wanita itu tidak semanis namanya, dia bisa menghancurkan seluruh apartemen itu kalau dia mau. Pelatihan wushu dan memegang medali emas untuk tingkat dunia membuatnya mempunyai cukup tenaga dan nyali untuk melakukannya.

Nasya membanting sekotak ayam goreng di atas meja makan Fei sementara Fei tidak mengacuhkannya. Dia tidak ingin membahas apapun dengan Nasya atau siapapun, tentang Gilang yang mendekati sahabatnya sendiri.

“Aku putus dengan Daniel.” Nasya mengucapkan itu sambil mengunyah sepotong pizza. Makanan sampah yang menjadi ganjalan termurah yang bisa di nikmati perantau macam mereka.

“Why?” Fei tidak pernah menyangka dua sejoli itu akan putus. Mereka terlihat menyatu. Diciptakan untuk bersama. Semua orang menunggu undangan pernikahan mereka disebar. Seakan-akan mereka memang diciptakan untuk satu sama lain.

“Aku ingin menemanimu patah hati.” Ucap Nasya ringan. Jemarinya menari di atas laptop di depannya.

Fei bangkit dari depan rak sepatu di ruang depan dan menghampiri sahabatnya.

“katakan padaku kenapa kalian putus?”

“Aku bosan.”

Fei yakin Nasya bohong. Nasya tidak pernah bosan bersama Daniel. Laki-laki itu selalu punya sesuatu yang menarik Nasya untuk bersamanya.

Fei menutup laptop Nasya dengan kesal. Nasya menghadapi Fei dengan santai. Wajah Fei sudah memerah. Dia marah.

“Aku patah hati, tapi aku masih bisa hidup Fei. Kenapa kau tidak? Aku tahu Gilang mendekati Lyra. Tapi dunia tidak berhenti karena itu. Pizza batu ini tetap diproduksi, Mr. Humbleton tetap menyebalkan seperti biasanya. Saham wall street tetap naik turun seperti ekg. Kau tetap hidup. Aku tetap bisa memukul patah femur Gilang jika kau memintanya. Tapi kau tidak akan meminta hal seperti itu. Dan aku pun juga tidak akan membiarkan sahabatku melakukan hal yang sama pada hidupnya. Berhentilah mengasihani diri sendiri. Jangan lecehkan keperkasaanmu. Bukankah kita adalah per-empu-an yang kuat. Kita memang bukan Wonder woman. Tapi kita perempuan moderat yang siap menghadapi perubahan. Walaupun itu menyakitkan.”

Fei tertegun, dia ingin membalas makian lembut Nasya, tapi otaknya terlalu lelah atau malas untuk berpikir. Jadi dia duduk di lantai, memeluk lututnya, dan menangis. Nasya memeluknya. Kalau saja air mata bisa diuangkan, pasti Fei sudah kaya raya saat ini.

~

Tapi itu terakhir kalinya Fei menangisi Gilang. Fei memang masuk kuliah dengan kaca mata berbingkai hijau yang menyamarkan matanya yang bengkak. Tapi Fei masuk kuliah esok harinya, dan hari-hari berikutnya. Fei nyaris saja melemparkan sepatu bobotnya pada Nasya saat dia mendengar pembicaraan Daniel dengan temannya di lobi kampus. Nasya gila itu tidak bohong, dia meminta Daniel memutuskannya agar dia bisa mengetahui rasanya sakit hati.

Fei memaksa Nasya untuk kembali pada Daniel. Jadi Nasya menembak Daniel di depan menara eifell. Romantis? Tidak! Nasya membawa tongkat wushu nya saat itu dan mengancam akan menjadikan Daniel adonan korket daging kalau laki-laki itu menolaknya. Tapi Daniel tidak menolak Nasya, dia mencium gadis itu di keningnya. Hangat. Lembut. Penuh kasih. Dia tidak akan membiarkan gadis itu lepas lagi. Atau tersakiti.

Sementara Fei menyusun kembali hatinya yang telah terserak menjadi kepingan kecil. Dia mencurahkan semua pikirannya untuk buku ajar sastra. Hingga rasanya dia bisa membaca semua puisi klasik ciptaan manusia kuno yang lahir sejak abad ke 13 sampai 18, tanpa naskah. Tidak heran kini ia jadi mahasiswa favorit para dosen, menjadi murid pertama yang ditawari untuk dibimbing dalam penyusunan skripsi.

Dia menemukan birunya, saat dia pikir biru itu bumi, Fei salah. Biru itu laut. Dia adalah laut. Bukan langit. Dia kokoh, lembut, sekaligus mematikan. Dan badai bernama Gilang tidak ada apa-apanya untuk lautan seluas dirinya. Omong-omong Fei masih bersahabat dengan Lyra. Dia masih mendengarkan keluhan Lyra tentang Gilang yang sering moody. Namun, Fei lebih suka mengatakan tidak bisa diganggu karena risetnya tentang karya kuno yang ditemukan di museum kecil pinggir kota.

~

“apa kau tidak bosan memotretku?” Fei mengamati batu berukir di depan museum sementara laki-laki dengan kamera canon terbaru itu tersenyum, memandanginya dari balik lensa.

“Kau objek yang menarik.” Ucap lelaki itu ringan.

“Objek?” Fei mengangkat wajahnya kesal.

Barra, fotografer lepas yang merangkap sebagai pengacara itu melangkah ke arah Fei.

“yup. The Limited object just for me.” Senyum kembali menghiasi bibirnya, bonus sepasang lesung di kadua pipinya.

“huh? Apa aku hanya seharga hiasan, sesuatu yang bisa kau lihat, kau nikmati? Lalu setelah bosan kau bisa membuangnya?” Fei merengut. Dia kesal dengan anggapan itu.

Barra mengacak sayang rambut perempuan di depannya,”kau terlalu berharga untuk dibuang. Tidak ada tempat yang cukup luas untuk menampung hatimu yang tulus itu. Hanya aku yang mampu menampungnya. Karena akulah sang bumi. Dan kau dewi lautku. Apa aku harus menceritakan bagaimana dampak bumi tanpa laut supaya kau bisa lebih menghargai dirimu sendiri?”

Fei menggeleng,”Tidak Barra, cukup protet saja aku dari angle yang lebih bagus, agar mataku bisa terlihat lebih lebar.”

“Tidak perlu, karena kaulah angel nya.” Barra menggandeng tangan Fei. Mereka beranjak pergi. Menyusuri jalanan paris yang tak menentu, panjang, dan berliku. Namun bersama Barra, Fei tahu kemana harus melangkah. Fei tidak perlu tersesat di dalam badai seperti lyra saat ini. Dia ingin sekali menolong perempuan itu, tapi lyra telah memilih jalannya. Memilih badainya. Apakah mendapatkan Barra membuatnya beruntung? Mungkin tidak karena Barra tidak memiliki ford mewah seperti Gilang atau keegoisan tinggi yang sanggup menenggelamkan kepercayaan diri wanita manapun. Barra cukup murah hati untuk menjelajahi paris di musim dingin, menggenggam tangan Fei dan membagikan roti dan susu untuk tuna wisma yang mencari kehangatan di bawah pipa-pipa penghangat jalanan.

Fei tidak menyesal telah banyak menangis untuk Gilang. Dia bersyukur karena dia mengambil keputusan untuk berhenti dan melangkah maju. Meninggalkan semua ketakutan tak beralasan dan memeluk kehidupan. Dan Tuhan memberikan Barra kepadanya, cinta dan kesetiaan, matahari untuk mengencerkan kebekuan hatinya. Mereka berdua mengalir. Meninggalkan segala macam badai yang bergulat dengan kehidupan.

 

Maaf kalau nggak sesuai pesanan,hanya ini lah yang bisa jemari ini tarikan.

~Ameony

 

7 thoughts on “Badai

  1. GREAT !!!
    16 thumbs up!! (gue pinjem jempol para tetangga gue)
    but well,
    andai memang seperti itu pada kenyataannya,
    kehadiran Barra yang seperti hujan di kala keringnya kemarau,
    tapi tidak
    maksudku, belum, untuk sekarang
    tidak tau nanti,
    yang jelas
    hatiku tidak hitam oleh tintanya
    namun hatiku abu-abu karna aku inginkan warna itu

    • aish, you’ll find barra dear. God always prepare the best for you. cheeeerrrr! 🙂
      we are full colour now. singkirkan abu2 dan masa lalu. peluklah hidup dan mimpi2 mu.

  2. aku baru baca kalau kalian berdua menggila tentang proker di sini..
    and baydewey..
    i’m happy that i already find barra
    but, i’m already have him (not yet)
    aku tetep optimis sih..
    ada banyak kesempatan untuk akhirnya mendapatkan pandangannya..
    hahaha
    aku berdoa agar porker kalian sukses besar ya..
    kalo butuh mc hubungi aku juga ngga papa..hahaha

  3. aku baca cerita ini dan jadi lucu sendiri, mengingat proker kalian sudah nyaris sekali sukses, hanya saja seperti kata mba adele – i can’t make you love me..hehehe
    tapi ada g****g disana,
    i already got his sight,
    and i wish that was the best decision that i made
    and you all guys was the best teacher and my private advisor, thank you 🙂
    tetap tuntun aku ya ceman-ceman…

Leave a reply to dewipatahhati Cancel reply